“Papi lu tuh ya, orangnya diem. Kalem. Dia itu lebih sebagai penengah dalam konflik”, kata salah satu mantan murid Papi ke saya. Rasanya cukup aneh, tapi senang bisa mendengar sisi lain dari Papi yang belum pernah saya dengar sebelumnya/
Malam itu, tanggal 30 November 2019, kami semua berkumpul untuk mengenang Papi. Di ujung ruangan, dalam sebuah peti berwarna putih, terbaring jenazah Papi. Wajahnya tersenyum, entah karena keahlian tim yang mempersiapkan jenazah, atau memang Papi merasa lega telah menyelesaikan hidup yang penuh makna selama 76 tahun 26 hari.
“Dan, kalau ada muridnya yang tidak mau sekolah, dengan alasan mau bantu orang tua cari duit, Papi lu akan bayarin dulu uang sekolah murid tersebut. Makanya ketika sudah sukses, mereka selalu merasa berhutang budi sama Papi”, lanjut mantan murid Papi.
Cerita ini pernah saya dengar dari Papi semasa hidupnya. Namun ketika mendengar ini dari mantan muridnya tetap terasa beda. Papi memang menjadi seorang guru sebelum menikah. Alasannya sambil mencari biaya untuk kuliah. Tapi ternyata bukan hanya biaya kuliah yang terkumpul, tapi juga Papi mengumpulkan budi yang kelak membantu dirinya semasa sakit.
“Pantesan karma Papi bagus”, guman saya.
Esok harinya setelah kremasi, giliran kakak tertua Papi yang bercerita. “Lu tau ga, Papi lu dulu kan pakai honda bebek biru. Biar hemat, dia bongkar sendiri tuh mesin. Udah dipasang sama dia, tau-tau ada baut 1 di luar. Akhirnya dia dorong tuh honda bebek ke bengkel, dibongkar dan dipasang lagi.”
Cerita ini mengingatkan akan tahun 1990-an akhir. Saat itu, kami memiliki 2 buah mobil yang cukup tua: Toyota Corola DX tahun 1987 dan Civic Wonder tahun 1989. Saya berusia sekitar 20 tahun, dan Papi sekitar 55 tahun. Di sela-sela waktu senggang saya kuliah dan Papi mengajar les privat, kami berdua menghabiskan waktu dengan memperbaiki kedua mobil tersebut. Entah AC-nya yang kurang dingin, atau radiator yang bocor, karburator yang bocor, hingga memasang audio mobil Civic Wonder yang saya gunakan. Tapi kali ini, tanpa baut yang tertinggal.
Papi yang saya kenal memang seorang yang tidak banyak bicara. Tapi, sekali beliau bersabda, maka kami semua anak-anaknya biasanya cukup segan untuk berkata sebaliknya. Dibalik sifatnya yang pendiam, Papi juga merupakan seorang family man, orang yang menempatkan keluarga di atas segalanya. Beliau selalu menyempatkan diri untuk mengantarkan saya ke sekolah setiap pagi hingga saya lulus SMA, sebuah tradisi yang saya teruskan saat ini dengan mengantarkan anak saya ke sekolah setiap pagi.
Selain sebagai seorang family man, Papi juga seorang yang tidak mau menyusahkan orang lain. Kakaknya bercerita kalau Papi tidak akan pernah mengaku lapar, demi supaya saudaranya yang lain bisa makan. Dia juga tidak pernah mengeluh sakit. Hal ini mungkin yang menyebabkan ketika dia sakit di bulan Oktober yang lalu, sakitnya sudah terlambat untuk disembuhkan.
Masih banyak hal-hal baik yang Papi lakukan selama 76 tahun berkarya di dunia ini. Dan tidak ada cara yang lebih baik untuk merayakan bahwa pernah hadir seorang Papi, Akong, Guru dan Teman, dengan melanjutkan karya baiknya di dunia ini.
Thank you Dad, thank you for everything. Until we meet again in Heaven.
Leave a Reply