Beberapa hari yang lalu saya sedang berpikir, kapan ya Indonesia bisa punya industri hi-tech? Industri hi-tech yang saya maksud adalah seperti pabrik produksi telepon genggam, komputer, atau bahkan microchip sendiri? Jadi mungkin nantinya bukan hanya ada baju, sepatu atau produk tekstil saja yang ada tulisan Made in Indonesia. Bukan juga hanya ada rokok atau mie instan yang ada tulisan Made in Indonesia. Tetapi, saya berharap ada telepon genggam, komputer, dan perangkat elektronik lainnya yang ada tulisan Made in Indonesia.
Sebenarnya, kalau ditelisik lagi, industri elektronik Indonesia harusnya tidak jauh-jauh amat ketinggalan. Di tahun 1999 saya melakukan kerja praktek di pabrik televisi TVM di Tangerang. Pabrik tersebut sudah menggunakan otomasi yang cukup baik di tahunnya, meskipun masih banyak tenaga manusia yang digunakan dalam proses assembly. Dari sisi manufaktur, saya rasa pabrik perakitan mobil milik Astra juga cukup baik, meskipun saya belum pernah masuk ke sana. Lantas, kapan kita bisa melihat perangkat elektronik canggih dengan tulisan Made in Indonesia?
Ternyata, pertanyaan saya tersebut langsung terjawab di sore hari, saat saya membuka bungkusan sebuah telepon genggam baru. Dibaliknya, tepat di cover belakang telepon genggam tersebut, terdapat tulisan: Made in Indonesia. Telepon genggam yang saya pegang adalah merk Xiaomi dari China, dimana hampir semua barang elektronik di dunia dibuat.
Telepon genggam Xiaomi ini dirakit di pabrik milik Sat Nusapersada di Batam. Lantas, kenapa sebuah perusahaan China justru merakit produknya di Indonesia? Bukankah industri hi-tech dan manufaktur di China sendiri sudah jauh lebih maju dari Indonesia? Kemungkinan besar, karena peraturan pemerintah yang mewajibkan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) tertentu untuk telepon genggam yang dijual di Indonesia.
Tapi, jangan buru-buru dulu menghakimi kalau Xiaomi terpaksa membuka pabrik hanya karena peraturan TKDN tersebut, karena aturan TKDN bisa dipenuhi dari banyak hal lain yang lebih mudah, seperti manufaktur kemasan, buku petunjuk atau perangkat lunak yang banyak dilakukan produsen telepon genggam lainnya. Jadi, saya rasa Xiaomi memiliki pertimbangan lain dari sekedar memenuhi peraturan TKDN.
Dan yang lebih penting lagi, semoga aturan TKDN ini dimanfaatkan oleh banyak perusahaan lokal lain untuk memajukan industri hi-tech Indonesia. Bukankah manufaktur Xiaomi di Indonesia sudah membuktikan bahwa pabrik di Indonesia juga sudah bisa merakit perangkat hi-tech sendiri? Dan suatu waktu, semoga juga kita bisa merakit komponen yang lebih rumit di dalam negri, seperti misalnya mikroposesor.
Leave a Reply